Belajar Merelakan
Malam ini syukurlah aku mendapat kesempatan untuk membuat mamak merasa nyaman. Jarang-jarang rasanya kita mendapatkan moment-moment seperti ini. Walaupun terkadang, sebenarnya ditiap malam menjelang tidur, aku selalu terfikir untuk memberikan waktu terbaik untuk beliau, cuma yaaahh, mungkin aku terlalu sombong dan sok sibuk, jadi walau serumah, kita cuma berbicara seadanya.
Ok lanjut yaa
Disela obrolan dengan mamak malam ini, rasanya aku mendapat satu pengajaran berharga. Yaitu tentang bagaimana merelakan sesuatu yang sebenarnya sampai mati tak ingin terpisahkan. Berawal dari kisah seorang tetangga yang suaminya baru meninggal. Kata mamak, sang istri benar-benar terguncang mentalnya. Sampai sekarangpun, masih belum bisa diajak bicara dan tidak lagi bisa mengenali tetangganya sendiri.
"Ya gitu, dia terlalu dibawa perasaan sedih, tapi ga dibarengi sama dzikir. Jadi fikirannya makin dirasuki putus asa" ini kata mamak
Ayahku juga sudah meninggal 2 tahun yang lalu. Bagi keluargaku terutama mamak, ayah adalah orang yang paling berharga. Bukan cuma berperan sebagai suami atau ayah. Tapi ayahku juga adalah orang yang paling jadi panutan. Pelindung, sahabat, rekan kerja, ayah benar-benar bagian besar dalam kehidupan kami.
Tiba-tiba, suatu hari maghnya kambuh, dan tidak sampai satu minggu kemudian ia meninggal dunia dihadapan mamak dan aku sendiri. Bagaimana rasanya saat itu? Jangan ditanya karna aku sendiri tak dapat menjelaskan bagaimana perasaanku saat itu. Apalagi mamak bukan? Mamak dan ayahku bisa dibilang tidak pernah terpisah jauh, semenjak mereka menikah lebih dari 35 tahun yang lalu. Mamak yang dari kecil hanya tinggal bersama mbah nya, dan ayah juga seorang anak yang menjadi tulang punggung adik-adiknya. Mereka menikah, praktis tidak memiliki apapun. Semua benar-benar dimulai dari nol. Bekerja bersama, mengasuh anak bersama di rumah yang kata mamak tak layak disebut rumah. Pokoknya mereka berdua benar-benar melalui masa sulit bersama sampai akhirnya mereka juga melepas lelah dimasa tua bersama. Ditambah lagi, ayah adalah seorang yang amat manja. Makan diambilkan, mandi disiapkan, mau pergi sendal pun dipasangkan. Begitulah pengabdian mamak terhadap ayah.
"Kalau difikir, mami ni yang gak pernah pisah sama papi kamu, tiba-tiba papi kamu meninggal padahal mami yang selalu sakit-sakitan, rasanyaa kalau diturutin hhmmm bisa gila mungkin. Rasanya deekk dek, hadoohh setiap hari mami tu ngerasa ga ada gunanya lagi mami hidup, mau cepet-cepet nyusul aja"
"Cuma ya, mami mikir lagi. Kalau ngikutin perasaan memang ga akan bisa bangkit. Jadi mami mikirnya, semuanya bakal kembali kepada Allah. Kitapun cepet atau lambat juga bakal kesana toh. Jadi ya hidup yang sekarang aja dijalanin baik-baik supaya bisa ketemu papi lagi nanti"
Untung posisinya mamak sedang tiduran dipangkuan aku, jadi tak kelihatan aku yang sudah berlinangan air mata sejak tadi 😂😂. Aku terus menyisiri rambut mamak yang setengahnya sudah berwarna putih sambil pura-pura ngucek-ngucek mata 😁..
Inilah pelajaran berharga yang aku dapatkan. Ikhlas merelakan atau menerima ketentuan Allah bukan berarti kita tidak boleh sedih. Apa salahnya? Menangis adalah hal yang menandakan kalau kita ini adalah seorang manusia, bukan sebongkah batu. Ya toh?? Cuma menangis yang bagaimana? Tentu saja bukan menangis yang terlalu meratap bahkan sampai marah dan tidak menerima apa yang sudah menjadi ketetapan Allah.
Belajar merelakan
Banyak hal sebenarnya didunia ini yang membuat kita kecewa. Termasuk kehilangan. Hari ini kita bersama seseorang yang sangat kita cintai, siapkah kita suatu hari nanti ia harus pergi?
Makanya kata Allah, kita dilarang untuk berlebih-lebihan terhadap sesuatu. Terutama berlebihan dalam mencintai sesuatu yang sifatnya duniawi. Cintailah mereka hanya karna Allah. Jangan sedikitpun dilebihkan dengan kecintaan kita terhadap Allah.
Semoga bermanfaat
Ok lanjut yaa
Disela obrolan dengan mamak malam ini, rasanya aku mendapat satu pengajaran berharga. Yaitu tentang bagaimana merelakan sesuatu yang sebenarnya sampai mati tak ingin terpisahkan. Berawal dari kisah seorang tetangga yang suaminya baru meninggal. Kata mamak, sang istri benar-benar terguncang mentalnya. Sampai sekarangpun, masih belum bisa diajak bicara dan tidak lagi bisa mengenali tetangganya sendiri.
"Ya gitu, dia terlalu dibawa perasaan sedih, tapi ga dibarengi sama dzikir. Jadi fikirannya makin dirasuki putus asa" ini kata mamak
Ayahku juga sudah meninggal 2 tahun yang lalu. Bagi keluargaku terutama mamak, ayah adalah orang yang paling berharga. Bukan cuma berperan sebagai suami atau ayah. Tapi ayahku juga adalah orang yang paling jadi panutan. Pelindung, sahabat, rekan kerja, ayah benar-benar bagian besar dalam kehidupan kami.
Tiba-tiba, suatu hari maghnya kambuh, dan tidak sampai satu minggu kemudian ia meninggal dunia dihadapan mamak dan aku sendiri. Bagaimana rasanya saat itu? Jangan ditanya karna aku sendiri tak dapat menjelaskan bagaimana perasaanku saat itu. Apalagi mamak bukan? Mamak dan ayahku bisa dibilang tidak pernah terpisah jauh, semenjak mereka menikah lebih dari 35 tahun yang lalu. Mamak yang dari kecil hanya tinggal bersama mbah nya, dan ayah juga seorang anak yang menjadi tulang punggung adik-adiknya. Mereka menikah, praktis tidak memiliki apapun. Semua benar-benar dimulai dari nol. Bekerja bersama, mengasuh anak bersama di rumah yang kata mamak tak layak disebut rumah. Pokoknya mereka berdua benar-benar melalui masa sulit bersama sampai akhirnya mereka juga melepas lelah dimasa tua bersama. Ditambah lagi, ayah adalah seorang yang amat manja. Makan diambilkan, mandi disiapkan, mau pergi sendal pun dipasangkan. Begitulah pengabdian mamak terhadap ayah.
"Kalau difikir, mami ni yang gak pernah pisah sama papi kamu, tiba-tiba papi kamu meninggal padahal mami yang selalu sakit-sakitan, rasanyaa kalau diturutin hhmmm bisa gila mungkin. Rasanya deekk dek, hadoohh setiap hari mami tu ngerasa ga ada gunanya lagi mami hidup, mau cepet-cepet nyusul aja"
"Cuma ya, mami mikir lagi. Kalau ngikutin perasaan memang ga akan bisa bangkit. Jadi mami mikirnya, semuanya bakal kembali kepada Allah. Kitapun cepet atau lambat juga bakal kesana toh. Jadi ya hidup yang sekarang aja dijalanin baik-baik supaya bisa ketemu papi lagi nanti"
Untung posisinya mamak sedang tiduran dipangkuan aku, jadi tak kelihatan aku yang sudah berlinangan air mata sejak tadi 😂😂. Aku terus menyisiri rambut mamak yang setengahnya sudah berwarna putih sambil pura-pura ngucek-ngucek mata 😁..
Inilah pelajaran berharga yang aku dapatkan. Ikhlas merelakan atau menerima ketentuan Allah bukan berarti kita tidak boleh sedih. Apa salahnya? Menangis adalah hal yang menandakan kalau kita ini adalah seorang manusia, bukan sebongkah batu. Ya toh?? Cuma menangis yang bagaimana? Tentu saja bukan menangis yang terlalu meratap bahkan sampai marah dan tidak menerima apa yang sudah menjadi ketetapan Allah.
Belajar merelakan
Banyak hal sebenarnya didunia ini yang membuat kita kecewa. Termasuk kehilangan. Hari ini kita bersama seseorang yang sangat kita cintai, siapkah kita suatu hari nanti ia harus pergi?
Makanya kata Allah, kita dilarang untuk berlebih-lebihan terhadap sesuatu. Terutama berlebihan dalam mencintai sesuatu yang sifatnya duniawi. Cintailah mereka hanya karna Allah. Jangan sedikitpun dilebihkan dengan kecintaan kita terhadap Allah.
Semoga bermanfaat
Comments
Post a Comment