Kita butuh pandaikah, atau pandai-pandai saja?
Kembali rasanya saya harus berpendapat yang mungkin akan melawan arus.
Langsung saja ya
Sy : saya
Mi : mbak icha ( saya panggil mbak karna dia cucu tertua walau sekarang masih kelas 1 SMA)
Mi : teh, mbak kesal kali, temen-temen mbak tu dikelas nyontek aja. Masak ulangan nengok buku, buat kopekan. Enak kali orang tu nilainya bagus-bagus terus.
Sy : kamu gimana? Nyontek juga ta mbak?
Mi : ya enggaklah, mbak belajar, tapi mana bisa nyamain nilai orang tu kalau kayak gitu caranya. Matilah mbak ga dapat juara lagi ni kayaknya teh.
Sy : emang kamu ga negur temen-temen kamu yang nyontek tu?
Mi : udah teh, terus kata mereka zaman sekarang hidup ga perlu pandai, tapi pandai-pandai.
Sy : hhmmm (masih memilah kata yang tepat).
Tapi malam itu saya tidak bisa memberikan saran apapun selain doa (wkwkwkwk). "Sorry mbak, soalnya ada ibuk, teteh ga brani banyak omong, hihi".
Dari zaman saya SD, sampai tamat kuliah, memang banyak sekali kejadian seperti ini. Jangankan mbak icha yang masih SMA, bahkan baru-baru ini sekali my sapen alias sahabat pena yang jauh disana juga bercerita bagaimana kesalnya dia dengan hasil sempurna yang diperoleh teman sekelasnya dari ya itu, curang. Yap! Dengan jelas saya berani bilang, bahwa mereka CURANG.
Bukan berarti saya ini tidak pernah nyontek, jujur saya pernah nyontek saat duduk dibangku sekolah. Saking takutnya dengan seorang guru Matematika (bu ana, halo buk apa kabar? Hehehe ✌), saya terpaksa memastikan bahwa jawaban saya itu benar dari teman sebelah saya, untungnya dia dengan senang hati memberikan jawaban. Alhasil, kami terbebas dari pukulan penggaris pada betis mulus ini. Hihihi.
Saya termasuk orang yang tidak handal dalam hal contek mencontek, pasti ketauan. Sudah pernah beberapa kali membuat catatan kecil, tapi hhmmmm, kertas itu hanya menunggu didalam kocek tak pernah dibuka. Pernah coba nulis ditangan, eh belum mulai ujian dah buru-buru saya hapus karna takut lagi. Intinya hati saya selalu menjaga saya untuk tidak berbuat hal yang seperti itu. Dulu saya ngedumel kenapa tidak berani, sekaraang?? Saya bersyukur. Artinya Tuhan masih menjaga hati saya. Saya fikir begitu.
Saat kuliah, mungkin banyak orang yang tersakiti dengan sikap "pelit" saya saat ujian. Pernah, saat ujian tiba-tiba sang dosen merubah semua posisi duduk. Sepertinya ibuk itu tahu siapa-siapa yang akan bekerja sama. Jadi semua podisi dirubah. Waktu itu saya berubah posisi di tengah. Dengan percaya diri teman disamping kiri depan belakang berbisik "de, kasi tau ya nanti". Saya hanya tersenyum dan balas berbisik "jangan berharap sama manusia, nanti kecewa". Raut mereka berubah, tadinya cerah, sekarang kusam dan kalau saya tebak isi hatinya mungkin jengkel sekali dengan jawaban saya tadi. Selama ujian saya juga tidak bergeming, ada yang manggil saya tetap fokus mengerjakan jawaban. Selesai jawab (selesai disini tidak pasti benar semua, tapi sekemampuan saya mengerjakan), langsung tanpa basa basi saya kumpulkan dan melenggang keluar ruangan. Saya tahu betapa kesalnya mereka terhadap saya, tapi seandainya mereka tahu, itu bukan cuma untuk kebaikan saya, tapi untuk mereka juga. Mungkin sampai tahun kedua kuliah, tatapan sinis terhadap saya masih ada, tapi setelah itu, syukurlah mereka mengerti dan mulai faham maksud saya. Tidak ada lagi yang mencoba untuk bertanya saat ujian, mungkin masih ada yang beranggapan negatif, tapi setidaknya sudah ada yang memahami prinsip saya itu.
Yang jelas maksud saya adalah,
Pertama, saya jelas tidak tahu apakah jawaban saya 100 % benar, dan saya tidak mau ada yang kecewa lantas menyalahkan saya dan bilang nilainya jelek gara-gara saya.
Kedua, saya paling tidak suka melihat orang yang selalu mengandalkan orang lain dan tidak mau berusaha sendiri.
Ketiga, alasan prinsip, sebisanya saya tidak ingin terlibat dalam kecurangan.
Sekarang saya sudah tamat kuliah, meski tidak mendapatkan nilai akhir setinggi langit, tapi ini sudah lebih dari sekedar cukup.
Untuk mbak icha dan teman-temannya, mungkin saat ini alasan mereka belajar adalah untuk mendapatkan nilai sempurna, Peringkat pertama di kelas atau umum sekalipun. Jadi wajar saja kalau mendapatkannya dengan berbagai cara. Karena tujuannya hanya nilai. Padahal, nilai itu hanyalah tulisan di atas kertas semata (semoga bisa difahami maksudnya). Coba renungkan lagi apa tujuan kita bersekolah. Baca juga kok ga kerja? sayang kuliahnya
Langsung saja ya
Sy : saya
Mi : mbak icha ( saya panggil mbak karna dia cucu tertua walau sekarang masih kelas 1 SMA)
Mi : teh, mbak kesal kali, temen-temen mbak tu dikelas nyontek aja. Masak ulangan nengok buku, buat kopekan. Enak kali orang tu nilainya bagus-bagus terus.
Sy : kamu gimana? Nyontek juga ta mbak?
Mi : ya enggaklah, mbak belajar, tapi mana bisa nyamain nilai orang tu kalau kayak gitu caranya. Matilah mbak ga dapat juara lagi ni kayaknya teh.
Sy : emang kamu ga negur temen-temen kamu yang nyontek tu?
Mi : udah teh, terus kata mereka zaman sekarang hidup ga perlu pandai, tapi pandai-pandai.
Sy : hhmmm (masih memilah kata yang tepat).
Tapi malam itu saya tidak bisa memberikan saran apapun selain doa (wkwkwkwk). "Sorry mbak, soalnya ada ibuk, teteh ga brani banyak omong, hihi".
Dari zaman saya SD, sampai tamat kuliah, memang banyak sekali kejadian seperti ini. Jangankan mbak icha yang masih SMA, bahkan baru-baru ini sekali my sapen alias sahabat pena yang jauh disana juga bercerita bagaimana kesalnya dia dengan hasil sempurna yang diperoleh teman sekelasnya dari ya itu, curang. Yap! Dengan jelas saya berani bilang, bahwa mereka CURANG.
Bukan berarti saya ini tidak pernah nyontek, jujur saya pernah nyontek saat duduk dibangku sekolah. Saking takutnya dengan seorang guru Matematika (bu ana, halo buk apa kabar? Hehehe ✌), saya terpaksa memastikan bahwa jawaban saya itu benar dari teman sebelah saya, untungnya dia dengan senang hati memberikan jawaban. Alhasil, kami terbebas dari pukulan penggaris pada betis mulus ini. Hihihi.
Saya termasuk orang yang tidak handal dalam hal contek mencontek, pasti ketauan. Sudah pernah beberapa kali membuat catatan kecil, tapi hhmmmm, kertas itu hanya menunggu didalam kocek tak pernah dibuka. Pernah coba nulis ditangan, eh belum mulai ujian dah buru-buru saya hapus karna takut lagi. Intinya hati saya selalu menjaga saya untuk tidak berbuat hal yang seperti itu. Dulu saya ngedumel kenapa tidak berani, sekaraang?? Saya bersyukur. Artinya Tuhan masih menjaga hati saya. Saya fikir begitu.
Saat kuliah, mungkin banyak orang yang tersakiti dengan sikap "pelit" saya saat ujian. Pernah, saat ujian tiba-tiba sang dosen merubah semua posisi duduk. Sepertinya ibuk itu tahu siapa-siapa yang akan bekerja sama. Jadi semua podisi dirubah. Waktu itu saya berubah posisi di tengah. Dengan percaya diri teman disamping kiri depan belakang berbisik "de, kasi tau ya nanti". Saya hanya tersenyum dan balas berbisik "jangan berharap sama manusia, nanti kecewa". Raut mereka berubah, tadinya cerah, sekarang kusam dan kalau saya tebak isi hatinya mungkin jengkel sekali dengan jawaban saya tadi. Selama ujian saya juga tidak bergeming, ada yang manggil saya tetap fokus mengerjakan jawaban. Selesai jawab (selesai disini tidak pasti benar semua, tapi sekemampuan saya mengerjakan), langsung tanpa basa basi saya kumpulkan dan melenggang keluar ruangan. Saya tahu betapa kesalnya mereka terhadap saya, tapi seandainya mereka tahu, itu bukan cuma untuk kebaikan saya, tapi untuk mereka juga. Mungkin sampai tahun kedua kuliah, tatapan sinis terhadap saya masih ada, tapi setelah itu, syukurlah mereka mengerti dan mulai faham maksud saya. Tidak ada lagi yang mencoba untuk bertanya saat ujian, mungkin masih ada yang beranggapan negatif, tapi setidaknya sudah ada yang memahami prinsip saya itu.
Yang jelas maksud saya adalah,
Pertama, saya jelas tidak tahu apakah jawaban saya 100 % benar, dan saya tidak mau ada yang kecewa lantas menyalahkan saya dan bilang nilainya jelek gara-gara saya.
Kedua, saya paling tidak suka melihat orang yang selalu mengandalkan orang lain dan tidak mau berusaha sendiri.
Ketiga, alasan prinsip, sebisanya saya tidak ingin terlibat dalam kecurangan.
Sekarang saya sudah tamat kuliah, meski tidak mendapatkan nilai akhir setinggi langit, tapi ini sudah lebih dari sekedar cukup.
Untuk mbak icha dan teman-temannya, mungkin saat ini alasan mereka belajar adalah untuk mendapatkan nilai sempurna, Peringkat pertama di kelas atau umum sekalipun. Jadi wajar saja kalau mendapatkannya dengan berbagai cara. Karena tujuannya hanya nilai. Padahal, nilai itu hanyalah tulisan di atas kertas semata (semoga bisa difahami maksudnya). Coba renungkan lagi apa tujuan kita bersekolah. Baca juga kok ga kerja? sayang kuliahnya
Jadi, apa yang kita butuhkan sekarang? Pandai kah?? Atau pandai-pandai saja?
Baca juga Tentang ilmu
Satu lagi, jika hari ini kamu masih berusaha curang ketika ujian, jangan protes, jangan kesal, jangan marah, sama bapak-bapak yang korupsi di pemerintahan sana. Karna kamu, adalah bagian dari mereka, titik.
#maaf jika ada salah dalam penyampaian
#maaf jika tidak sesuai sudut pandang pembaca
Kritik dan saran nagisa77dede@gmail.com
Comments
Post a Comment