Terikat
Pernahkah kamu merasa terikat?
Terikat oleh keadaan yang tak kunjung membuat hidupmu nyaman. Selalu saja ada
tuntutan yang seakan-akan hidupmu dipenuhi dengan kekurangan.
Yah, mungkin begitulah karakter
dasar dari manusia. Selalu merasa kurang dan terus mencari kesempurnaan. Saya
tidak bicara kalau sifat ini adalah sifat yang sepenuhnya tidak baik.
Tergantung bagaimana kita membawanya.
Saya teringat ketika saya
bertengkar dengan seseorang. Saat itu memang saya yang salah dan saya berniat
untuk meminta maaf. Namun, permintaan maaf saya memakai kata “maaf, aku salah.
Aku Cuma manusia biasa yang tidak mungkin menjadi sempurna”.
Tidak disangka, jawaban orang
disebrang sana “sama aku juga manusia yang tidak sempurna, tapi mencoba untuk
menjadi sempurna tidak ada salahnyakan?”
Balasan singkat itu cukup
mengena, bahkan saya mengingatnya sampai sekarang. Padahal percakapan itu
terjadi pada saat saya masih duduk dibangku SMP.
Minta maafnya benar, tapi
berdalih “hanya seorang manusia biasa yang tak luput dari kesalahan”lah yang
tidak tepat. “mencoba untuk menjdi sempurna” rasanya lebih baik. Seharusnya
saya mengatakan “maaf aku salah, doakan aku supaya menjadi lebih baik lagi J “. Karena jika kita
terus saja berdalih “hanya seorang manusia” artinya kita tidak berusaha untuk
menampilkan apa yang terbaik dari diri kita.
Tidak mungkin menjadi sempurna,
inilah yang selalu membuat kita terikat pada suatu keadaan. Disaat kita dituntut
untuk menjadi sebaik ini, sebaik itu, seperti dia, seperti mereka. Mungkin ada
yang merasakan hal yang sama, dimana ketika belum lulus kuliah ditanya kapan
lulus? Ketika sudah lulus ditanya kapan kerja? Ketika sudah kerja ditanya kapan
nikah? Ketika sudah nikah ditanya kapan punya anak? Ketika sudah punya anak
ditanya kapan mau nambah anak lagi? Dan seterusnya. Tidak akan pernah ada
habisnya. Lantas bagaimana kita menghadapi keadaan seperti itu? Padahal kita
sudah berusaha menunaikan apa yang dituntutkan kepada kita.
Sebuah cerita yang dapatkan dari
majelis ilmu. Tentang seorang ayah dan anaknya yang berpergian dengan seekor
keledai. Ketika melewati suatu kampung, selalu saja ada bisikan tak sedap. Mereka
menaiki keledai berdua secara bersaman dinilai tega sama keledai yang kecil,
ketika sang ayah berjalan kaki sedangkan anaknya menaiki keledai sang anak
dinilai kurang ajar, ketika sang anak berjalan kaki dan sang ayah menaiki
keledai sang ayah dinilai sampai hati tidak kasian dengan anak sendiri, ketika
mereka berdua memilih berjalan kaki sedangkan keledai digiring saja mereka
dinilai mubazir tidak menggunakan keledai, ketika mereka berdua melanjutkan
perjalanan dengan menggendong keledai mereka dinilai "ayah dan anak sama-sama
gilanya".
Begitulah, kita akan selalu
terikat oleh pandangan orang lain yang sebebas-bebasnya menilai dan ingin
mengatur kehidupan kita hari ini, esokkan pasti begitu. Kita melakukan hal buruk dibilang penjahat,
melakukan hal baik dibilang sok alim.
Apa yang bisa kita lakukan?
apakah cukup waktu untuk merubah pola fikir orang-orang dlingkungan kita ini?.
mungkin perlu banyak waktu untuk itu. Rasanya, akan lebih baik kita
menanggapinya dengan tersenyum manis lalu melakukan yang terbaik saja. Sampai akhirnya
ikatan itu terlepas dengan sendirinya.
Fighting!!
#mohon koreksi jika salah
#ramadhan part VII
Bener banget cerita yang keledai. Keknya ku juga pernah denger. Hmmm, gimana lah dunia, manusia. Eh aku juga manusia hehe =b
ReplyDeleteBener banget cerita yang keledai. Keknya ku juga pernah denger. Hmmm, gimana lah dunia, manusia. Eh aku juga manusia hehe =b
ReplyDelete