Belajar Adil pada Rasa

Bagi saya, hidup adalah belajar. Mungkin begitu juga bagi sebagian orang. Bagi saya sendiri, belajar itu diawali dengan mencoba melakukan sesuatu, jika salah, lalu mencoba memahami letak kesalahan, dan mencoba memperbaiki (Aksi-Fahami-Perbaiki).

Kali ini, kita akan mencoba belajar untuk adil pada setiap rasa.

Kalau kata lagu “Aku Bisa” nya Maidani, “Saat terjatuh, jangan lupa bahwa engkau pernah berdiri,… Saat terluka, jangan lupa bahwa engkau pernah bahagia,…” Begitulah, belajar adil pada setiap rasa.

Setiap orang mempunyai masalah dalam hidupnya, tidak hanya kita. Ada yang terlihat penuh masalah, ada yang terlihat biasa saja. Namun apakah lantas kita bisa berkata, “kayaknya enak ya jadi dia” tanpa kita tahu apa sebenarnya beban yang orang lain pikul?. Percayalah, setiap masalah yang dibebankan kepada manusia sudah terukur dan disesuaikan pada kemampuan pundaknya masing-masing. Tinggal bagaimana kita, bisakah adil pada setiap rasa?

Seringnya, ketika ada masalah seorang teman selalu menyarankan kita untuk melihat orang-orang yang hidupnya lebih menderita daripada kita. Tidak hanya teman, bisa saja tanpa kita tahu Tuhan sendiri yang memperlihatkan kepada kita, betapa masih beruntungnya hidup kita saat ini. Apa yang kita jalani saat ini, adalah sebuah impian bagi orang lain.

Saya jadi ingat pada seorang senior saya waktu kuliah dulu. Bagi saya, ia adalah orang yang memiliki banyak kemampuan, tidak bodoh, tidak malas, namun ia harus berjuang menghindari DO karna masa studinya yang mendekati tujuh tahun. Namun, sedikitpun saya tidak melihat kesusahan pada raut wajahnya. Masih tersenyum dan menyapa “adeek, apa kabar?” dalam hati saya “what!, bukannya seharusnya aku yang menanyakan kabarnya?” . Pada suatu waktu, saya mengalami banyak masalah dalam menghadapi penelitian tugas akhir yang tak kunjung selesai. Beliau datang kepada saya dan menatap tajam sekali. Sepertinya ia tahu apa yang tersembunyi di dalam benak ini. Tanpa menunggu komentar saya ia berkata “dek, ga selamanya adek berada di atas, sesekali Allah ingin adek ngerasain susahnya, ngerasain dimarahin dosen, disepelehin dosen, ga harus dipuji terus. Mbak juga pernah galau kok, ga mungkin mbak ga galau, kalau orang galau tingkat dewa, mungkin mbak galaunya tingkat diatas dewa kalau ada. Mbak inget dulu waktu sekolah dari SD, SMP, SMA selalu rangkin tiga besar. Jadi mbak fikir sekarang saatnya Allah ngasih mbak kesempatan untuk mencicipi rasanya dibelakang. Siapa yang ga mau selesai cepat, semua orang pasti mau selesai kuliah cepat-cepat, tapi mau gimana, kita uda berusaha. Kalau masih belum waktunya mbak selesai, mbak jalanin aja sebisa mbak”. Hhhh, sungguh saya jadikan itu bahan renungan untuk saya sendiri.

Belajar adil pada setiap rasa.

Setiap rasa ada masanya bukan? Hari ini kita bersedih, bukan berarti hidup kita akan berantakan esok hari. Kata seorang teman, “bahagia itu adalah sesuatu yang bisa kita ciptakan sendiri”. Ada saatnya kita mendapatkan yang kita damba hari ini, ada saatnya pula kita ditinggalkan apa-apa yang kita cintai. Orangtua, keluarga, sahabat, pacar(mungkin), harta benda,  laptop hilang, hp rusak, dan lain-lain. Bisakah kita adil pada setiap rasa?.

Saya jadi ingat satu tulisan yang saya lupa baca dimana. Kira-kira katanya begini, ketika kita ditinggalkan seseorang atau sesuatu, bisa jadi Tuhan sedang rindu kepada kita. Bisa saja cemburu. Selama ini mungkin saja kita terlalu sibuk dengan orang-orang atau apa saja yang kita cintai. Sehingga kita menduakan hati untuk Tuhan kita. Bisa saja Tuhan ingin kita kembali mencintaiNya dengan sepenuh hati, kembali mengadu kepaNya, berharap kepadaNya, dan tentu saja Tuhan ingin kita sadar bahwa hanya Dialah satu-satunya yang tidak akan mungkin membuat kita kecewa.

Belajar adil pada rasa. Apakah saya bisa melakukannya?

# Belajar menasehati diri sendiri

# Ramadhan part I

Comments

Popular posts from this blog

Without Allah I'm nothing

Awak ni Apeelaaah

Bertahan Pada Keyakinan